Di tengah semangat reformasi dan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah, hari ini rakyat Indonesia—terutama kalangan intelektual muda seperti mahasiswa—justru kian kehilangan ruang untuk menyampaikan pendapat. Kritik kerap dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai masukan konstruktif untuk membangun bangsa. Bahkan dalam lingkup kampus, yang seharusnya menjadi tempat paling terbuka bagi gagasan dan wacana kritis, suara mahasiswa sering kali dibungkam secara halus melalui tekanan struktural maupun kebijakan sepihak.
Fenomena ini sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Ketika mahasiswa tidak diberi ruang bicara, apalagi jika pendapat mereka dipadamkan sebelum sempat berkembang, maka praktik demokrasi yang adil dan beradab pun ikut tercederai.
Lebih dari itu, pengekangan terhadap kritik dan aspirasi menghambat proses permusyawaratan yang sejatinya menjadi sarana utama dalam mengambil keputusan bersama. Padahal, keberadaan mahasiswa sebagai agen perubahan meniscayakan bahwa mereka diberi tempat untuk bersuara, berpikir, dan bertindak dalam koridor etika dan tanggung jawab.
Menjaga semangat Pancasila berarti menjamin bahwa kritik bukan hanya diterima, tetapi juga dihargai sebagai bagian dari kontrol sosial. Tanpa itu, bangsa ini akan kehilangan arah dan nilai-nilai luhur yang dahulu menjadi pijakan kemerdekaannya.
Penulis : Catur Apriyanto
Editor : Tim Redaksi KlikMedia9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar