Bersuara di Negeri Demokrasi, Tapi Takut Dimarahi, Ah Lucunya Negeri! - Klik Media 9

Breaking

Senin, 02 Juni 2025

Bersuara di Negeri Demokrasi, Tapi Takut Dimarahi, Ah Lucunya Negeri!


Di banyak kampus di negeri ini, ada satu pola yang terus berulang. Setiap kali mahasiswa bersuara lebih keras dari biasanya, entah lewat tulisan, diskusi terbuka, atau aksi damai, tiba-tiba saja suasana menjadi tegang. Beberapa dosen mulai mengingatkan agar berhati-hati. Pihak birokrat kampus turun tangan. Ada yang dipanggil secara informal, ada pula yang tiba-tiba diminta “klarifikasi”. Tak jarang, mahasiswa merasa diawasi hanya karena menyuarakan kegelisahan yang sebenarnya juga dirasakan banyak orang.

Padahal, bukankah kampus seharusnya menjadi tempat yang paling terbuka untuk perbedaan pendapat?


Kebebasan berpendapat dan kebebasan mengkritik bukan sekadar istilah idealis yang hanya enak dibicarakan dalam kelas Pendidikan Kewarganegaraan. Ia adalah hak yang dijamin konstitusi. Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, ditegaskan bahwa menyampaikan pendapat secara lisan dan tulisan adalah bagian dari kebebasan yang dilindungi negara.


Lalu mengapa ketika mahasiswa menggunakan hak itu, reaksi yang muncul sering kali justru rasa curiga dan ketakutan?


Pers mahasiswa adalah contoh paling nyata. Dalam banyak kasus, media ormawa yang mencoba bersikap kritis sering kali dipaksa untuk diam. Tulisan-tulisan yang mengangkat isu sensitif dianggap melanggar etika, padahal yang ditulis berdasarkan fakta dan hasil peliputan. Sering kali, redaksi diminta menghapus berita, atau majalah ditarik dari peredaran hanya karena isinya dianggap “tidak pantas” atau “menjelekkan nama baik lembaga”.


Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara. Mahasiswa termasuk di dalamnya. Artinya, media yang mereka kelola pun semestinya memiliki ruang untuk berbicara dengan bebas, selama tetap menjunjung tinggi etika jurnalistik dan kebenaran.


Sayangnya, ruang-ruang kebebasan itu makin sempit. Ada semacam ketakutan sistemik terhadap suara-suara yang berbeda. Kritik dianggap ancaman, bukan kontribusi. Padahal, dalam masyarakat demokratis, kritik bukan sesuatu yang harus dihindari. Ia justru menjadi pengingat agar kekuasaan tidak berjalan sewenang-wenang. Tanpa kritik, tidak ada koreksi. Tanpa koreksi, kekuasaan bisa tumbuh tanpa batas.


Kita hidup di negara demokrasi. Tapi demokrasi tidak akan tumbuh dari pemilihan umum saja. Demokrasi hidup ketika warganya bebas berpikir, bebas berbicara, dan bebas menyampaikan isi hatinya. Mahasiswa, sebagai kelompok yang sedang tumbuh kesadaran kritisnya, semestinya diberi ruang luas untuk itu.


Suatu bangsa hanya akan maju jika generasi mudanya dibiasakan untuk berpikir tajam, berani menyampaikan pendapat, dan tidak takut berbeda suara. Maka membungkam mahasiswa sama saja dengan membungkam masa depan.


Penulis : Lina Setiani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar