Akibatnya, lahan pertanian di enam desa – Sambeng, Jrakah, Bringin, Bayan, Pucangagung, dan Pekutan – terbengkalai. Sebagian petani terpaksa membuat sumur bor dengan biaya tinggi, sementara yang lain memilih membiarkan sawahnya mengering. “Mau diolah, tidak untung. Dibiarkan, hati tidak tenang. Hidup segar, mati tak mau,” ujar seorang petani dengan nada getir.
Situasi ini memicu aksi protes Koalisi Masyarakat Sipil bersama mahasiswa Purworejo. Mereka menggelar demonstrasi di sekitar saluran irigasi Desa Sambeng dengan membentangkan spanduk bernada sindiran keras: “15 Tahun Ora Mili Cuk”, “Ora Butuh Janji, Butuh Banyu Mili”, hingga “Saluran Ada, Air Mana?”.
Kepala Desa Sambeng juga menyuarakan kejanggalan yang sama. “Air di hulu melimpah, tapi kenapa tidak sampai ke hilir? Padahal jelas air itu mestinya mengalir dari hulu ke hilir,” tegasnya.
Muhaimin, petani Sambeng, mengaku sudah terlalu lama menunggu. “Tolong pemerintah segera realisasikan saluran air ini. Petani ingin hidup layak,” pintanya. Senada, Tukimin menuturkan penderitaannya akibat modal membengkak. “Menyedot air sumur itu mahal. Hasil panen tidak sebanding. Petani jadi korban,” keluhnya.
Bagi para petani, Hari Tani yang seharusnya menjadi ajang penghormatan pada pejuang pangan justru berubah jadi pengingat pahit. “Pemerintah sering bicara soal ketahanan pangan, tapi kenyataannya petani masih berjuang sendirian tanpa air,” ujar salah satu peserta aksi.
Kini, warga menanti langkah nyata dari pemerintah daerah hingga pusat. Sebab tanpa irigasi yang berfungsi, jargon ketahanan pangan hanyalah slogan kosong.
Penulis: Apri
Editor: Tim Redaksi KlikMedia9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar